Setelah sebelumnya ane membahas Catenaccio, pada kesempatan kali ini ane pengen ngeshare juga nih mengenai Sistem permainan Total Football, ya yang penggemar Belanda pasti tidak asing lagi dengan kata-kata "Total Football" permainan menyerang indah nan menawan yang ditunjukan Timnas Belanda pada Piala Dunia 1974 dan mengantarkan mereka ke final dan bertemu Jerman Barat, tapi sayangnya Total Football Belanda tidak cukup kuat untuk melawan gempuran para pemain Jerman Barat pada waktu itu yang di pimpin oleh 'Der Kaizer' Franz Beckenbauer dan Gerd Muller, meskipun saat itu Belanda unggul terlebih dahulu lewat gol penalti Johan Neeskens, namun mereka tetap harus mengakui keunggulan para pemain Die Mannschaft 2-1. Namun terlepas semua itu para pemain Belanda dengan Total Football-nya mampu menyuguhkan permainan menyerang dan bertahan yang apik dan menawan kepada khalayak. Nah disini ane pengen mengulas tentang sistem "Total Football" itu sendiri yang beberapa artikelnya ane dapet dari berbagai sumber. Cekidoot...
Kapten Belanda pada Final Piala Dunia 1974 Johan Cruijff bersalaman dengan Kapten Jerman Franz Beckenbauer
Pertama ane ambil artikel dari
wikipedia.com
"Total Football" (
Belanda:
totaalvoetbal) adalah taktik permainan yang memungkinkan semua pemain bertukar posisi (permutasi posisi) secara konstan sambil menekan pemain lawan yang menguasai bola. Dengan demikina taktik ini mengharuskan tim berisi para peamin yang mempunyai skill menyerang dan bertahan yang sama bagusnya serta memilki fisik prima unutk bisa tampil konstan selama 90 menit. Taktik ini pertama dipopulerkan oleh klub
Ajax Amsterdam pada tahun 1969 sampai 1973. Tim Nasional Belanda kemudian mengadopsi gaya ini pada
Piala Dunia 1974 dan terus menjadi ciri khas permainan tim
Oranje dan
Ajax Amsterdam sampai sekarang. Taktik ini diperkenalkan pertama kalinya oleh
Rinus Michels yang juga menjadi pelatih
Ajax Amsterdam dan
Oranje. Gaya permainan ini kemudian dimodifikasi lagi oleh
Johan Cruijff pada saat ia melatih
FC Barcelona.
Masa keemasan taktik ini mencapai puncaknya ketika
Ajax Amsterdam mencetak rekor kandang selalu menang dalam 46 pertandingan (46-0-0) selama dua musim (1971/72 dan 1972/73) dan meraih 5 titel juara (Juara Liga, Piala KNVB, Piala Champion, Piala Super Eropa dan Piala Interkontinental).
yang kedua ane ambil artikel dari http://www.detiksport.com/sepakbola/read/2009/03/02/134622/1092825/425/totalitas-total-football
London - Total Football bagi saya adalah sistem permainan sepakbola yang paling menarik. Tetapi memahami Total Football ternyata tidak segampang yang saya duga. Berulangkali membaca berbagai literatur dan artikel sepakbola, susah menemukan penjelasan mengapa dan bagaimana Total Football muncul. Hanya dengan memahami mengapa dan bagaimana, kita bisa memahami esensi sesuatu.
Yang standar tentu saja kita tahu bahwa sistem ini pertama kali muncul di Belanda dengan permainan bertumpu pada fleksibilitas pertukaran posisi pemain yang mulus. Posisi pemain sekadar kesementaraan yang akan terus berubah sesuai kebutuhan. Karenanya, semua pemain dituntut untuk nyaman bermain di semua posisi.
Penjelasan paling memuaskan malah bukan saya dapat dari orang Belanda, melainkan seorang penulis Inggris yang tergila-gila dengan sepakbola Belanda. David Winner menulis buku yang kalau diterjemahkan bebas kira-kira berjudul, "Oranye Brilian -- Jenius dan Gilanya Sepakbola Belanda".
Orang Belanda sendiri sampai terkagum-kagum dan mengatakan, ''Ah, jadi begitukah cara berpikir kami.'' Banyak pemain bola Belanda seperti tersadarkan pada sosok yang berada di dalam kaca ketika mereka bercermin.
Winner tidak membahas sepakbola semata. Menurutnya Total Football hanyalah pengejawantahan ''psyche'' paling dasar warga Belanda dalam memahami kehidupan. Benang merah Total Football juga ada dalam karya seni, arsitektur, dan bahkan tatanan sosial budaya masyarakat Belanda.
Berlebihan? Mungkin. Namun penjelasannya sungguh masuk akal.
Kita semua tahu ukuran lapangan sepakbola lebih kurang sama di mana-mana, sehingga ruang permainan selalu sebenarnya sama. Tapi orang Belanda sadar bahwa ruang juga adalah persoalan abstrak di dalam kepala. Membesar dan mengecilnya ruang tergantung pada cara mengeksploitasinya.
Total Football, demikian jelas buku itu, adalah persoalan ruang dan eksploitasinya itu, bukan yang lain. Fleksibilitas posisi pemain, pergerakan pemain, semuanya adalah konsekuensi dari upaya untuk menciptakan ruang agar bisa dieksploitir semaksimal mungkin.
Prinsip dasarnya sebenarnya sangat sederhana. Besar kecilnya lapangan sepakbola walau ukurannya sama, tetapi di benak bisa berubah tergantung siapa yang bermain di dalamnya.
Misalnya, begitu pemain Belanda menguasai bola maka mereka akan membuat lapangan seluas mungkin. Pemain bergerak ke setiap jengkal ruang yang tersedia. Di benak lawan lapangan akan tampak begitu lebar.
Atau, begitu lawan menguasai bola, ruang harus dibuat sesempit mungkin. Pemain yang terdekat dengan pemain lawan yang menguasai bola dituntut untuk menutupnya secepat mungkin, tidak peduli apakah itu pemain bertahan atau bukan. Bisa satu bisa dua, bahkan tiga. Tekanan harus dilakukan secepat mungkin bahkan ketika bola masih ada di jantung pertahanan lawan. Lawan terjepit dalam benak bahwa lapangan begitu sempit.
Memperlebar atau mempersempit ruangan di benak lawan tentu bukan barang mudah. Harus ada kemampuan untuk mencari ruangan. Pergerakan yang kompak. Cara mengumpan bola yang eksploitatif atas ruang yang tersedia, entah melengkung, lurus, melambung, dll. Pendeknya dibutuhkan pemahaman geometri ruangan yang tidak sederhana.
Persoalannya adalah, mengapa hal ini tidak terpikirkan oleh orang lain sebelumnya? Dan mengapa orang Belanda yang bisa melakukannya?
Jawabnya, menurut buku itu, didapat dari kondisi alam Belanda.
Bangsa Belanda secara intrinsik bangsa yang spatial neurotic (tergila-gila oleh ruangan ataupun pemanfaatannya). Kondisi alam memaksa mereka demikian. Lima puluh persen tanahnya berada di bawah permukaan laut. Sementara sisanya terlalu sempit untuk jumlah penduduk yang berjubel.
Terus menerus bangsa ini melakukan reklamasi untuk memperluas daratan. Dengan sadar persoalan tanah mereka atur dengan sangat disiplin dan ketat. Eksistensi bangsa ini tergantung bagaimana mereka merawat tanah yang tak seberapa mereka punya. Kanal, selokan air, bendungan kecil dan besar, teratur rapi membelah setiap jengkal tanah yang mereka punya.
Belanda hingga saat ini adalah negara paling padat dalam ukuran per meter persegi, dan pengaturan tanahnya adalah yang paling teratur di muka bumi.
Namun seberapa pun mereka mencoba, seberapa pun disiplinnya, tanah tidak akan pernah cukup tersedia.
Lalu apa yang dilakukan?
Jawabnya ada di daya khayal, di benak, di alam abstraksi. Di samping secara fisik mereka mencoba memperluas wilayah darat mereka, mereka juga menciptakan ruang yang luas dialam khayal mereka.
Kalau Anda kebetulan datang ke Eropa, bandingkanlah tata kota Belanda dengan negara lain. Kita akan segera sadar bahwa Belanda memang lebih sempit tapi tata kotanya dibuat sedemikian rupa rapi, sehingga terasa sangat longgar. Dibanding negara manapun di dunia, tata kota di Belanda adalah yang paling kompak di dunia.
Arsitektur bangunannya, baik yang tua maupun modern, terasa sangat inovatif, dengan sudut yang sering tidak normal, bentuk bangunan yang tidak umum, aneh, tetapi kesannya selalu sama—longgar dan lapang. Karena semua lekuk ketidaknormalan adalah bagian dari upaya untuk menciptakan ruang tambahan di alam khayal tadi.
Bahkan benak juga dilonggarkan untuk urusan norma sosial. Kalau etika Protestan semarak di Belanda di awal kelahirannya, sangatlah bisa dimengerti. Mereka secara instingtif akan memberontak terhadap segala sesuatu yang sifatnya mengukung. Dalam kasus kelahiran Protestan tentu saja pemberontakan atas kungkungan ajaran Katolik saat itu.
Proses itu terus berlanjut hingga sekarang. Kita tahu norma sosial Belanda adalah yang paling longgar di Eropa. Kelonggaran yang tetap diatur. Misalnya, mainlah ke Vondell Park di Amsterdam, bolehlah Anda menghisap ganja atau mariyuana dengan santai. Padahal di negara lain sembunyi-sembunyi pun Anda tidak boleh.
Jejak-jejak spatial neurotic ini bisa kita temukan dengan mudah di karya-karya seni mereka bahkan di kehidupan politik, tetapi kembali ke persoalan sepakbola, mentalitas pemain sepakbola juga sama persis. Ketika mereka turun ke lapangan, benak mereka selalu bermain-main dengan keinginan untuk menciptakan ruangan selonggar mungkin, lalu mengeksploitasinya.
Ketika Rinus Michel membawa Ajax menjadi juara Piala Champions tahun 1971, Eropa tersadarkan sebuah sistem baru yang mulai sempurna telah lahir. Sistem yang lahir dari psyche orang Belanda yang tergila-gila dengan ruang dan pemanfaatannya. Dan ketika Michel membawa Belanda ke final Piala Dunia 1974 lahirlah istilah Total Football.
Total Football sendiri sebenarnya meminjam penamaannya dari gerakan sosial yang digagas para arsitek-filosof terkemuka Belanda sekitar tahun 1970-an. Sebuah gerakan bernama Total. Memahami kehidupan perkotaan secara menyeluruh: mengatur urbanisasi, lingkungan, dan pemanfaatan energi dalam satu totalitas. Agar ruang yang tersedia di Belanda bisa termanfaatkan secara maksimal. Dan sepakbola adalah sebuah hiburan bagian dari pendekatan yang menyeluruh itu. Totalitas. Namanya: Total Football.
Tahun 1974, skema total football ini diperagakan dengan amat gemilang oleh tim nasional Belanda dibawah pimpinan sang kapten, Johan Cruyff. Semua pengamat bola di segenap penjuru dunia dibuat tertegun-tegun dengan pola dan kualitas permainan yang diperagakan oleh tim Belanda 74 ini. Hampir semua koran di dunia pada saat itu menyebutnya sebagai sebuah revolusi dalam sejarah permainan sepak bola.
Kita sendiri berharap skema total footbal ini bisa terus diperagakan. Tim Spanyol dalam Kejuaraan Eropa 2008 lalu telah memeragakannya dengan cukup baik. Kita tidak ingin skema pemianan bertahan a la Italia yang menguasai dunia. Italia adalah tempat lahirnya konsep Catenaccio, sebuah konsep sepak bola bertahan. Dan dunia menangis ketika negative football Italia yang diperagakan Paolo Rossi dkk berhasil menjadi Juara Dunia 1982, menaklukan tim sepakbola indah yang dipimpin Zico dan Socrates.
Sepakbola masa depan adalah sepakbola yang indah. Sebuah permainan yang tak hanya ingin menang, namun menang dengan cara permainan yang penuh pesona. Seperti tim Belanda 1974, atau Tim Brasil 1970 dibawah Pele, atau Tim Argentina 1986 dibawah Maradona, atau Tim Perancis 1984 dibawah Michael Platini.
Jadi jelaslah kalo Total Football memberikan warna tersendiri dalam sepakbola di saat banyak sistem permainan sepakbola seperti Italia dengan Catenaccionya, Inggris dengan Kick n Rushnya ataupun Brazil dengan Joga Bonitonya.
Rinus Michels "Sang Maestro Total Football"
skema Total Football ala Rinus Michels
No tawuran No anarki
Just Love Football
-Salam-
Sumber: